Sabtu, 01 Maret 2014

PENAFSIRAN DAN CARA MENGISI KEKOSONGAN HUKUM


KATA PENGANTAR
            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul Penafsiran dan Cara Mengisi Kekosongan Hukum.
            Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca tentang penafsiran atau interpretasi hukum dan cara mengisi kekosonan hukum.
            Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam rangka penyusunan makalah ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini. Maka dari itu, penulis memohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Selain itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai masukan untuk perbaikan yang akan datang.


                                                                                          Bandung, November 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-hari memiliki banyak aktivitas, tidak dipungkiri bahwa di dalam kehidupan manusia memiliki banyak sekali masalah yang berhubungan dengan hukum. Namun tidak semua masalah yang ada di masyarakat sesuai dengan apa yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan, karena masalah yang terjadi bersifat dinamis artinya selalu berkembang. Sedangkan, peraturan yang mengatur hal-hal yang terjadi di masyarakat bersifat statis dan formal, maksudnya tidak dapat begitu saja diganti apabila sudah tidak sesuai lagi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem yang menjamin kepastian hukum untuk hal-hal yang belum atau tidak lagi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sistem yang dimaksud adalah penafsiran hukum yaitu agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum.
Penafsiran hukum dilakukan oleh hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang dihadapinya, khususnya apabila peraturan perundang-undangnya sudah ketinggalan zaman dan maamakai istilah-istilah yang tidak jelas atau dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus berusaha memberikan keputusan seadil-adilnya, tentunya dengan mengingat ketentuan hukum tertulis maupun tidak tertulis serta nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Oleh karena itu, kita sebagai generasi muda sangat perlu mempelajari ilmu hukum untuk kita jadikan landasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari terutama ketika terjadi peristiwa yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan atau tidak diatur juga dalam kebiasaan atau norma-norma yang ada di masyarakat. Hal itu perlu untuk dipelajari karena menyangkut kehidupan kita di lingkungan masyarakat yang kebanyakan masyarakatnya kurang mengetahui dan paham akan hukum.
B.       Rumusan Masalah
1.        Apa yang dimaksud dengan penafsiran hukum?
2.        Bagaimana metode-metode penafsiran hukum?
3.        Bagaimana cara menerapkan metode penafsiran hukum?
4.        Bagaimana cara mengisi kekosongan hukum?

C.      Tujuan Penulisan
1.        Untuk mengetahui pengertian dari penafsiran hukum.
2.        Untuk mengetahui macam-macam metode penafsiran hukum beserta contohnya.
3.        Untuk mengetahui dan memahami cara menerapkan metode penafsiran hukum.
4.        Untuk mengetahui cara mengisi kekosongan hukum.

D.      Manfaat Penulisan
1.        Dapat mengetahui pengertian penafsiran hukum.
2.        Dapat mengetahui macam-macam metode penafsiran hukum beserta contohnya.
3.        Dapat mengetahui dan memahami cara menerapkan metode penafsiran hukum.
4.        Dapat mengetahui cara mengisi kekosongan hukum.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)
1.        Definisi Penafsiran Hukum
Penafsiran atau interpretasi hukum peraturan undang-undang ialah mencari dan menetapkan pengertian asas dalil-dalil yang tercantum dalam undang – undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang (Soeroso, 2006:97).
Menurut Ridwan Halim (2005:81) penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik dalam arti memperluas maupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada, dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, penafsiran hukum sangat penting mengingat isi undang-undang yang kadang tidak jelas susunan katanya, dan tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran hukum terhadap undang-undang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.
2.        Metode-Metode Penafsiran Hukum
Terdapat beberapa metode penafsiran atau interpretasi hukum, antara lain sebagai berikut:
a.        Penafsiran Tata Bahasa (Grammatikal)
Penafsiran tata bahasa yang disebut juga penafsiran objektif merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Hal ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang,  penafsiran menurut bahasa ini juga harus logis.
Contohnya, pasal 372 kata “memiliki” dan “menggelapkan” dalam pasal 372 tidak selalu mengandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi. Perbuatan terdakwa tidak merupakan penggelapan akan tetapi suatu kasus perdata.
b.        Penafsiran Sahih (Autentik atau Resmi)
Penafsiran sahih atau autentik adalah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang. Contohnya, pada pasal 98 KUH Pidana : malam berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit dan pada pasal 97 KUH Pidana : hari adalah waktu selama 24 jam dan yang dimaksud dengan bulan adalah waktu selama 30 hari.
Penafsiran secara resmi berasal dari pembentuk undang-undang itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran ini, kebebasan hakim dibatasi.
c.         Penafsiran Historis
Penafsiran historis merupakan penafsiran yang dilakukan dengan ketentuan hukum yang didasarkan pada jalannya sejarah yang mempengaruhi pembentukan hukum tersebut. Pewarisan historis terdiri atas dua macam, yaitu:
1)        Sejarah hukum, yaitu suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memahami undang-undang dalam konteks sejarah hukum. Pemikiran yang mendasari ditetapkannya metode ini adalah anggapan bahwa setiap undang-undang selalu merupakan reaksi dari kebutuhan sosial yang memenuhi pengaturan. Setiap pengatur dapat dipandang sebagai langkah dalam perkembangan sosial masyarakat sehingga langkah itu maknanya diketahui. Hal ini meliputi semua lembaga yang terlibat dalam pelaksaaan undang-undang.
2)        Sejarah undang-undang, yaitu penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi di legislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang pada waktu pembentukkannya.
Contohnya, Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan. Ketika dalam suatu materi undang-undang membutuhkan interpretasi maka salah satu metode digunakan adalah metode historis. Artinya meminta keterangan dari anggota legislatif yang menetapkan atau terlibat dalam proses pembentukan undang-undang sampai pada keputusan dalam lembaga legislatif.
d.        Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis merupakan penafsiran yang didasarkan atas sistematika pengaturan hukum dalam berhubungannya antar pasal atau ayat dari peraturan hukum itu sendiri dalam mengatur masalahnya masing-masing. Contohnya, jika hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan oleh orang tuanya tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam KUHP perdata saja, tetapi harus dihubungkan dengan pasal 278 KUHP, yang berbunyi “barang siapa mengaku seorang anak sebagai anaknya menurut KUHP perdata, padahal diketahui bahwa ia bukan bapak dari anak tersebut, diancam dengan...”
e.         Penafsiran Nasional
Penafsiran nasional merupakan penafsiran yang menilik sesuai tidaknya hukum yang berlaku. Contohnya, hak milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia.
f.         Penafsiran Teleologis atau Sosiologis
Penafsiran teleologis atau sosiologis merupakan penafsiran berdasarkan maksud atau tujuan dibuatnya undang-undang tersebut, mengingat kebutuhan manusia semakin meningkat dan selalu berubah menurut masanya, sedangkan bunyi undang-undang tetap dan tidak berubah. Contohnya, di Indonesia masih banyak peraturan yang berlaku dan berasal dari zaman kolonial sehingga untuk menjalankan perarturan tersebut, hakim harus dapat menyesuaikan dengan keadaan masyarakat pada saat sekarang ini.
g.        Penafsiran Ekstensif (Luas)
Penafsiran eksternsif atau luas merupakan penafsiran yang bersifat memperluas isi pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan memperluas tersebut, hal-hal yang tadinya tidak termasuk dalam ketentuan hukum tersebut dan belum ada ketentuan hukum lain yang mengaturnya, dapat dicakup oleh hukum yang diperluas tersebut.
Contohnya, pada pasal 492 KUHP Pidana ayat (1) “barang siapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain, atau melakukan suatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
h.        Penafsiran Restriktif
Penafsiran restriktif atau membatasi merupakan penafsiran yang membatasi pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan pembatasan tersebut, ruang lingkup pengertian ketentuan hukum tersebut tidak lagi menjadi terlalu luas sehingga kejelasan, ketegasan, dan kepastian hukum yang terkandung didalamnya akan lebih mudah diraih.
Contohnya, menurut interpretasi grammatikal kata “tetangga” dalam pasal 666 KUHP Perdata dapat diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari perkarangan tetangga sebelah. Kalau tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa, ini merupakan interpretasi restriktif.
i.          Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis merupakan penafsiran yang memberikan tafsiran pada peraturan hukum dengan mengibaratkan pada kata-kata tersebut sesuai dengan hukumnya. Sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan peraturan tersebut.
Contohnya, pasal 362 KUH Pidana yakni barang siapa “mengambil” barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Atas kasus pencurian menyambung aliran listrik, maka “menyambung” aliran listrik dianalogikan atau dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
j.          Penafsiran a Contrario
Penafsiran a Contrario merupakan penafsiran yang berdasarkan pengertian atau kesimpulan yang bermakna sebaliknya dari isi pengertian ketentuan hukum yang tersurat. Contohnya, pasal 34 KUH Perdata menyatakan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum waktu 300 hari sejak saat perceraian. Apakah seorang laki-laki juga menunggu waktu 300 hari? Berdasarkan metode a contrario maka dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki, karena masalah yang dihadapi tidak diliputi atau tidak termasuk dalam pasal atau masalahnya berada di luar pasal 34 KUH Perdata. Pasal 34 KUH Perdata tidak menyebutkan apa-apa tentang laki-laki tetapi khusus ditunjukkan untuk wanita.
3.        Cara Menerapkan Metode Penafsiran
Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-tama harus selalu dilakukan penafsiran grammatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan perundang-undangan harus dimengerti lebih dahulu arti katanya. Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran otentik atau penafsiran resmi yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran ekstensif, penafsiran restriktif, penafsiran analogis dan penafsiran a contrario.
B.       Pengisian Kekosongan Hukum
1.        Hakim Memenuhi Kekosongan Hukum
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan  pada kenyataan memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan berlaku namun hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut justru sudah berubah. Selain itu, kekosongan hukum dapat terjadi apabila hal-hal atau keadaan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, atau sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau tidak lengkap.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku disuatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem yang formal sehingga sulit untuk mengubah atau mencabutnya, meskipun hal-hal atau keadaan masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan tersebut.
Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali menghadapi kendala dengan perkembangan masyarakat. Berbagai kasus yang terjadi dimasyarakat, telah menggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma yang ada. Namun perkembangan masyarakat lebih cepat daripada perkembangan peraturan perundang-undangan. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh masalah yang terjadi dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Berkaitan dengan fenomena tersebut, hakim dituntut untuk memperbaiki undang-undang  tersebut, agar sesuai dengan kondisi riil (kenyataan) kehidupan yang berkembang dalam masyarakat. Hakim sebagai pemegang kekuasaan yudikatif berkewajiban memberikan pertimbangan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai peraturan umum. Dalam memberikan pertimbangan, adakalanya hakim menambahkan peraturan perundang-undangan, maka hal ini berarti hakim memenuhi ruang kosong (leemten) dalam sistem bukum formal dari Tata Hukum yang berlaku (Kansil, 1989:70). Hal ini mengandung konsekuensi bahwa hakim dapat dan wajib memenuhi kekosongan yang terjadi dalam sistem hukum, dengan catatan bahwa perubahan tersebut tidaklah membawa perubahan yang mendasar (prinsipil) pada sistem hukum yang berlaku.
a.        Konstruksi Hukum
Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang diajukan kapada hakim, namun tidak ada ketentuan yang mengatur perkara tersebut meskipun telah dilakukan penafsiran hukum, sekalipun telah ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis. Begitu juga apabila perkara tersebut tidak terselesaikan oleh hukum kebiasaan atau hukum adat. Dalam hal itu, hakim harus memeriksa kembali sistem hukum yang menjadi dasar lembaga hukum tersebut, apabila dalam beberapa ketentuan mengandung kesamaan, maka hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) yang mengandung persamaan.
Membuat pengertian hukum adalah suatu perbuatan yang bersifat mencari asas hukum yang menjadi dasar peraturan hukum yang bersangkutan, adalah konstruksi hukum. Konstruksi hukum tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang, harus didasarkan atas pengertian hukum yang ada dan dalam undang-undang yang bersangkutan. Konstruksi hukum tidak boleh didasarkan atas analisir-analisir (elemen-elemen) yang diluar sistem materi positif (Scholten, dalam Soeroso, 2006:111). Dalam kostruksi hukum terdapat tiga bentuk yang meliputi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.
1)        Konstruksi Hukum atau Penafsiran Analogis
Penafsiran analogi dibutuhkan akibat perluasan hukum dengan menyesuaikan tempat, waktu, dan situasi. Menganalogi merupakan penciptaan konstruksi baru, mempunyai prinsip kesamaan permasalahan dengan analisir yang berlainan. Pada prinsipnya analogi berlaku untuk masalah-masalah hukum perdata. Sedangkan untuk hukum publik yang sifatnya memaksa tidak boleh dilakukan analogi karena terikat pada pasal  KUH Pidana. Pasal tersebut menegaskan, bahwa seseorang tidak dapat dihukum, selain atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang.
2)        Penghalusan Hukum
Penghalusan hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtsverfijning, yang berasal dari kata fijn yang berarti halus. Menurut bahasa Inggris, tindakan penghalusan hukum lazim disebut refinement of the law. Penghalusan hukum ialah memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Sifar dari penghalusan hukum adalah tidak mencari kesalahan daripada pihak dan apabila suatu pihak disalahkan maka akan timbul ketegangan. Namun Prof. Sudikno Mertokusumo (2006:71) lebih memilih istilah penyempitan hukum. Penyempitan hukum bukan merupakan argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan. Kalau tidak dirumuskan secara halus, maka rumusan dalam peraturan perundang-undangan terlalu luas.
Berdasarkan tujuannya, hukum tidak boleh menyelesaikan suatu perkara secara tidak adil atau tidak sesuai dengan realitas sosial. Namun kadang hakim tidak dapat menerapkan suatu ketentuan tertulis karena jika diterapkan justru menimbulkan ketidakadilan. Dalam hal ini, hakim terpaksa mengeluarkan perkara tersebut dari lingkungan peraturan tadi, dan selanjutnya menyelesaikan perkara menurut kaidah yang ia buat sendiri. Perbuatan mengeluarkan peraturan itulah yang oleh Utrecht disebut penghalusan hukum. Contohnya, apabila terjadi tabrakan antara motor dengan motor yang mengakibatkan keduanya mengalami kerusakkan parah. Keduanya sama-sama salah dan harus membayar ganti rugi sehingga terjadi suatu kompensasi.
3)        Argumentum a Contrario (Pengungkapan secara Berlawanan)
Penafsiran a Contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang. bedasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada diluar peraturan perundang-undangan.
Penafsiran a contrario bertolak belakang dengan penafsiran analogis yang juga merupakan suatu konstruksi hukum dengan maksud mengisi kekosongan dalam sistem undang-undang. Berikut merupakan perbedaan antara penafsiran a contrario dan penafsiran analogis.
No.
Penafsiran Analogis
Penafsiran a Contrario
1.
Memperoleh hasil yang posotif
Memperoleh hasil yang negatif
2.
Mempeluas berlakunya ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan
Mempersempit berlakunya ketentuan undang-undang.

Selain itu, ada beberapa persamaan antara penafsiran analogis dengan penafsiran a contrario yaitu sebagai berikut :
a)        Penggunaan undang-undang secara analogi dan argumentum a contrario sama-sama berdasarkan konstruksi hukum,
b)        Kedua cara tersebut sama-sama dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah,
c)        Kedua cara tersebut sama diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebut masalah yang dihadapi (terdapat leemten di dalam peraturan perundang-undangan),
d)       Maksud dan tujuan antara dua cara tersebut ialah sama untuk mengisi kekosongan di dalam undang-undang.
Contohnya, Mochtar dan Arief Sidharta memberi contoh pajak bumi dan bangunan (PBB). Dalam hal-hal tertentu si pemilik tidak mempunyai penghasilan lain selain tanah dan bangunan. Tanah itu pun tidak bisa digarap karena ia sudah tua. Mengharuskan ia membayar PBB akan menyebabkan ketidakadilan yang lebih besar dibanding menerapkan undang-undang PBB secara kaku.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.        Penafsiran hukum merupakan suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik dalam arti memperluas maupun mempersempit pengertian hukum yang ada, dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.
2.        Penafsiran hukum memiliki beberapa metode yaitu : penafsiran tata bahasa (garammatikal), penafsiran sahih (autentik/resmi), penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran teleologis/sosiologis, penafsiran ekstensif (luas), penafsiran restriktif, penafsiran analogis, serta penafsiran a contrario.
3.        Hakim yang memegang kekuasaan yudikatif, ia berkewajiban memberikan pertimbangan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pertimbangan, hakim dapat menambahkan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti bahwa hakim memenuhi kekosongan hukum dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku.
4.        Konstruksi hukum tidak boleh didasarkan atas analisir-analisir yang di luar sistem materi positif. Konstruksi hukum terdapat tiga bentuk yang meliputi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.
B.       Saran
Hakim merupakan pemegang kekuasaan yudikatif, ia memiliki tanggung jawab untuk mempertimbangkan pelakasanaan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, diharapkan hakim untuk bersikap adil dan lebih bijak dalam mengahadapi suatu kasus yang terjadi di masyarakat tanpa memandang siapa yang sedang diadilinya.


DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.S.T.(1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Soeroso, R.(2006). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Rozieq.(2011). Penafsiran Hukum. [Online]. Tersedia: http://kuliahhukum-rozieq.blogspot.com/2011/12/penafsiran-hukum.html  [31 Oktober 2013]
Lapananda Yusran.(2012). Analogi dan a Contrario. [Online]. Tersedia: http://logikahukum.wordpress.com/tag/metode-konstruksi-penghalusan-hukum-yaitu/ [31 Oktober 2013]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar